Pages

Subscribe:

Sabtu, 31 Maret 2012

TRADISI TENONGAN ( NYADRAN ) DI GIYANTI

Muharam atau Syura dalam kalenderisasi Jawa diyakini masyarakat Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Selomerto, Wonosobo, sebagai hari jadi dusunnya. Kemarin (23/12) Warga dusun yang dikenal sebagai akar lahirnya kesenian tari Lengger di wilayah Wonosobo itu merayakannya dengan acara nyadran (pesta) tenongan.


Ibu-Ibu Desa giyanti
Sejak pagi, sekitar pukul 08.00 WIB hangat matahari sangat terasa. Dari arah Wonosobo, tampak berpendar terang di sebelah selatan Gunung Sumbing. Ditengah hangatnya matahari, suasana di Dusun Giyanti Desa Kadipaten sungguh terasa. Para penduduk di dusun ini hampir semuanya keluar dari rumah masing-masing.
Isi dari Tenong
Mereka memadati sepanjang jalan kampung. Tak hanya warga setempat, penduduk di luar Dusun Giyanti juga datang. Ibu-ibu dan anak-anak duduk berderet di sepanjang jalan desa. Mereka menata makanan yang terdiri atas jajanan pasar dan buah-buah atau disebut tarakan di dalam tenong yang sudah dirias dengan kertas warna-warni.Menariknya, semua warga mengenakan pakain batik dan pakaian adat jawa.
Busana Khas
Tak jauh dari tempat tersebut, puluhan grup kesenian yang terdiri lengger, barongan, dan kuda lumping (emblek) juga beraksi. Sebagian tengah berdandan. Beberapa yang lain menata seperangkat gamelan serta topeng. Ya, mereka sedang menyiapkan acara nyadran (pesta) tenongan. Tradisi itu, bagi masyarakat Dusun Giyanti, merupakan kegiatan yang wajib dilakukan tiap bulan Muharam atau syura.
Selain dipercaya sebagai bulan yang penuh kemuliaan, Muharam diyakini sebagai bulan lahirnya Dusun yang melahirkan banyak seniman Lengger Khas Wonosobo itu. Prosesi upacara nyadran tenongan diawali ziarah ke makam sesepuh desa Adipati Mertoloyo yang dipercaya sebagai pembuka Dusun Giyanti.
Persiapan Pentas
Pemberangkatan ke makam melalui prosesi panjang. Ratusan warga mengenakan pakaian khas Jawa serta memboyong seluruh kesenian yang ada di desa tersebut. Namun, yang paling unik adalah warga memikul dua boneka yang disebut sebagai perwujudan Adipati Mertoloyo dan Kiai Monyet sebagai wujud penghormatan terhadap sesepuh pendiri dusun tersebut. Dua boneka itu diusung ke makam desa, kemudian mengikuti proses doa .
Rombongan warga dan seniman Dusun Giyanti membawa dua boneka tersebut keliling dan menyisir seluruh jalan dusun yang sudah dipadati makanan dalam tenong. Harapannya, dua boneka yang jadi simbol itu mampu memberikan berkah kepada makanan yang mereka usung dalam tenong.
Rombongan Pembawa Tenong
Lantas, satu per satu warga yang membawa tenong mengikuti barisan para peziarah berjalan keliling desa. Setelah semua sudut desa dikelilingi, mereka berkumpul di pesanggrahan kesenian yang didirikan pada 1960 oleh Ki Hadi Suwarno. Pesanggrahan itu dipercaya sebagai kawah candradimuka bagi para seniman yang akan belajar kesenian lengger, seni tari khas Wonosobo.
Panitia Tenongan
Para warga meletakkan tenongnya di sepanjang jalan dan halaman pesanggrahan. Sesepuh desa dan satu penari lengger menata sesaji di sebelah pohon beringin yang terletak di pesanggrahan seni tersebut sambil membaca beberapa mantra menuju keselamatan.
Setelah berdoa, di Pesanggrahan yang sudah dipadati para pengunjung disajikan tari asli lengger pada periode awal, yakni penari lengger laki-laki tetapi berdandan ala perempuan. Setelah tarian lengger, seorang cucuk lampah sesepuh desa tersebut, Sosro Wardoyo, menjelaskan silsilah kelahiran Dusun Giyanti.
Bunga 7 rupa
Menurut Sosro Wardoyo, Dusun Giyanti lahir beberapa tahun lalu, tahun ini memasuki ulang tahun yang ke 253. Generasi yang saat ini bermukim di Dusun Giyanti dan nguri-uri kabudayan (menghidupkan kebudayaan) adalah generasi ke-15. Kerukunan desa, kata dia, bisa bertahan karena unsur perekat, yakni kesenian dan kebudayaan. Dengan demikian Meski berbeda agama dan profesi, keutuhan antarwarga tetap terjaga.
”Kesenian menjadi napas Dusun Giyanti. Terbukti, di sini warganya memeluk berbagai agama seperti Kristen, Katolik, Islam, Pangestu, dan agama lain tapi tetap guyub,” katanya.
Grup tari hasil didikan salah seorang seniman Giyanti

Usai pembacaan silsilah para sesepuh dusun tersebut, kini memasuki acara paling ditunggu. Yakni berebut air berkah serta makanan meliputi jajan pasar dan buah-buahan yang sebelumnya diusung menggunakan tenong. Sembari membawa tas kresek serta gelas, hampir semua orang yang berkumpul di lokasi tersebut berebut barisan paling depan demi mendapatkan makanan dan minuman yang diyakini mampu mendatangkan berkah. Mereka pun saling sikut dan berdesak-desakan. Usai mendapatkan makanan dan air berkah, dengan muka memancar mereka kembali ke rumah masing-masing. (Sumali.Ibnu.Chamid)
Tari Bondan
Salah satu Kekuatan Magis Penari

1 komentar:

sby-sumalibangetyach mengatakan...

Tulisan ini mengambil di blog saya tanpa ijin..

Posting Komentar

.